Selasa, 30 November 2010

Sejarah Gajah Mada anak di Kecamatan Ngimbang yang jadi Orang Besar


Nyai Andongsari tak punya banyak waktu untuk berpikir, akan jadi apa puteranya kelak. Ia hanya bisa berharap dengan kalimat tinggi yang dibisikkannya kepada sang putera, “Thole, kelak semoga Gusti kang akarya jagad mengantar kaki-kakimu menginjak banyak tempat di negeri-negeri yang indah dan jauh”.
Bisikan sang ibu itu pun menjelma bagai doa ampuh. Puluhan tahun kemudian, impian itu bermetamorfosa menjadi nyata. Sang putera menjadi Mahapatih di sebuah kerajaan raksasa saat itu. Sang putera mengucap sumpah untuk senantiasa melatih mata batin menolak setiap godaan yang membuyarkan impian dan harapan yang ditanamkan sang bunda. Ya, bahkan tak hanya harapan sang bunda yang diwujudkannya, harapannya pun diperjuangkannya dengan keras. Ia memiliki harapan yang agung. Ia ingin menancapkan bendera Majapahit ke seluruh Nusantara. Sang putera itulah yang kemudian kita kenal sebagai Gajah Mada.

Sejarah masih menyimpan misteri tentang kapan dan dimana Gajah Mada lahir. Tetapi Lamongan menyuguhkan beberapa petunjuk, diduga kuat Gajah Mada berasal dari daerah di sekitar Lamongan, tepatnya Hutan Cancing, Kecamatan Ngimbang.
Sebuah buku bertajuk Riwayat Hari Jadi Lamongan menuliskan bagaimana Gajah Mada bisa menjadi bagian dari sejarah Majapahit.
Saat itu, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Prabu Jayanegara. Namun selama Prabu Jayanegara menjabat sebagai raja, Majapahit terus-menerus diwarnai pemberontakan. Hingga suatu ketika keraton Majapahit dikuasai oleh pemberotak dan Prabu Jayanegara mengungsi ke suatu daerah yang bernama Grujugurit, wilayah Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan. Di tempat baru inilah Prabu Jayanegara menemukan seorang anak muda bernama Joko Modo, yang oleh raja kemudian diangkat menjadi prajurit.


Joko Modo itulah yang kemudian lebih dikenal sebagai Gajah Mada. Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara dan mengatasi pemberontakan Ra Kuti, Gajah Mada akhirnya diangkat menjadi Patih di Kahuripan. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit, yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya.
Gajah Mada tak langsung menerima tawaran itu. Ia ingin membuktikan pengabdiannya kepada Majapahit terlebih dahulu dengan cara menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit.
Keta dan Sadeng pun berhasil ditaklukkannya. Gajah Mada akhirnya diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai Patih di Majapahit.
Majapahit di bawah Patih Gajah Mada menorehkan sejarah penaklukan yang mencengangkan. Penaklukan yang dilakukan oleh Sang Mahapatih di berbagai daerah silih berganti. Bedahulu (Bali) dan Lombok, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Kemudian dilanjutkan dengan penaklukan Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Hingga ketika Prabu Hayam Wuruk yang menggantikan Prabu Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan demi penaklukan ke wilayah timur. Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo telah berhasil ditaklukannya. Dari sinilah kemudian sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa Majapahit di era Hayam Wuruk adalah Nusantara II pasca Sriwijaya.
Negarakretagama menuliskan, bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Maseh
(dikutip dari sub bab Gajah Mada Asli LA)

Asal Usul Mahapatih Gajah Mada (Serat Babad Gajah Maddha)

Gajah Mada (1299-1364) Mahapatih majapahit yang sangat terkenal dengan sumpah palapanya merupakan satu-satunya orang kuat pada jamannya di nusantara. Salah satu keruntuhan kerajaan Majapahitdikatakan karena tidak memiliki orang kuat yang lain yang cakap untuk menggantikan gajah Mada. Panglima Perang yang ditunjuk menjadi Mahapatih kerajaan Majapahit menggantikan Arya Tadah pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
Sebagai mahapatih dia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta (1331) dan kemudian berikrar untuk mempersatukan Nusantara dengan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa.
Serat Pararaton memuat Sumpah Palapa yang diucapkan dihadapan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai berikut:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”
artinya :
“Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitupula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat”
Sepeninggalan Gajah Mada Namanya terus di kenang bukan saja di tanah air akan tetapi sampai di kawasan asia tenggara (yang dulu di sebut Nusantara) bahkan nama Gajah Mada di pakai sebagai nama salah satu Universitas Terkemuka di Indonesia dan juga di pakai sebagai Nama Hotel Berbintang 5.
Sayang sekali asal-usul Mahapatih Gajah Mada yang sangat masyur ini belum jelas diketahui Orang,baik meyangkut Nama orang Tuanya maupun tempat serta tahun kelahirannya.
Muhammad yamin didalam bukunya yang berjudul Gajah Mada, Balai Pustaka,cet ke-6,1960,hal 13 Mengungkapkan tokoh ini sebagai :
“Diantara sungai brantas yang mengalir dengan derasnya menuju kearah selatan dataran Malang dan dikaki pegunungan Kawi-Arjuna yang indah permai,maka disanalah nampaknya seorang-orang indonesia berdarah rakyat dilahirkanpada permulaan abad ke-14.
Ahli sejarah tidak dapat menyusur hari lahirnya dengan pasti: ibu bapak dan keluarganya tidak dapat perhatian kenang-kenangan riwayat: Begitu juga nama desa tempat dia dilahirkan dilupakan saja oleh penulis keropak jaman dahulu asal usul gajah mada semua dilupakandengan lalim oleh sejarah”
Jadi jelaslah menurut Muhammad Yamin,asal-usul Gajah Mada masih sangat gelap, walaupun ada dugaan bahwa gajah mada dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir keselatan diantara kaki gunung Kawi-Arjuna,diperkirakan sekitar tahun 1300 M.
Keinginan untuk mengetahui asal-usul Patih Gajah Mada sebagai Negarawan besar pada Jaman Kerajaan Majapahit, telah lama menarik perhatian ahli sejarah,salah satunya bpk I Gusti Ngurah Ray Mirshaketika mengadakan Klasifikasi Dokumen Lama yang berbentuk Lontar-lontar pada “perpustakaan Lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana” (sekitar tahun 1974. Salah satu lontar yang menarik perhatian diantaranya adalah lontar yang berjudul “Babad Gajah Maddha”. Lontar tersebut memakai kode: Krop.7, Nomer 156, Terdiri dari 17 Lembar lontar berukuran 50×3,5 cm, ditulisi timbal balik, setiap halaman terdiri atas 4 baris, memakai huruf dan bahasa Bali-Tengahan.
Lontar tersebut adalah merupakan Salinan sedangkan yang asli belum dapat dijumpai.
Secara garis besar lontar babad Gajah Maddha tersebut berisikam
1. Asal Usul Gajah Mada
2. Gri Kresna Kapakisan dalam hubungannya dengan raja-raja Majapahit
3. Emphu keturunan pada waktu memerintah dibali
Yang menjadi perhatian dari sekian lontar tersebut dan dapat dijadikan penelitian lebih lanjut adalah bagian yanfg menjelaskan tentang Asal-Usul/Kelahiran sang Maha Patih Gajah Mada.
Ringkasan Isi Teks Lontar Babad Gajah Maddha
Tersebutlah Brahmana Suami-Istri di wilatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan (Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat. Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan sex layaknya suami istri lagi.
Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.
Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah),sehingga Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat. Dalam keadaan Patni Nariratih seorang diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih . Sebagai tipu muslihat segerah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud,(“masiluman”)) berwujud seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya.
Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih,oleh karena sebagai pendeta sewala-brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih.
Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu,dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari,bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.
Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar. Pada waktu mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha. Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan,lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang etrletak pada kahyangan didesa Maddha tersebut.
Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa didesa Maddha,lalu oleh seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi nama “Maddha”
INTERPRETASI/TAFSIRAN dari Isi
1. Pada halaman 2a Lontar Babad Gajah Maddha (sealanjutnya di singkat dengan B.G.M) dikatakan bahwa oran tua Gajah Mada berasal dari Wilatikta yang disebut juga Majalangu (B.G.M hal.1b)
Disebelah selatan “Lemah Surat” terletak “Giri Madri” yang dikatakan berada dekat dengan Wilatikta (B.M.G Hal.6a)pada B.M.G hal.6b dikatakan hampir setiap hari Patni Nariratih pulang pergi dari wilatikta,megantar makanan suaminya di asramanya di gili Madri yang terletak disebelah selatan wilatikta. Hal ini berarti Gili Madri terletak disebelah selatan Lemah Surat dan juga disebelahselatan Wilatikta. Jarak antara Gili Madri dengan Wilatikta dikatakan dekat.Tetapijarak antara Lemah Surat dengan Wilatikta begitu pula arah dimana letak Lemah Surat dari Wilatikta tidak disebutkan dalam B.G.M
2. Pada B.G.M hal. 12a yang menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, ada kalimat yang berbunyi “On Cri Caka warsa jiwa mrtta yogi swaha” kalimat ini adalah Candrasangkala yang bermaksud kemungkinan sebagi berikut:
On Cri Cakawarsa = Selamatlah Tahun Saka
Jiwa = 1 (satu)
mrtta = 2 (Dua)
Yogi = 2 (Dua)
Swaha = 1 (satu)
jadi artinya : Selamat Tahun Saka 1221 atau tahun (1299 Masehi)
seandainya itu benar maka gajah mada dilahirkan pada tahun 1299 Masehi.
3. Mengenai nama Maddha B.G.M hal.10b – 11a disebutkan sebagai berikut:
Karena malu terhadap gurunya yakni : Mpu Ragarunting, begitu juga terhdap orang banyak, maka setelah kandungan Patni Nariratih membesar, lalu disjak ia oleh suaminya meninggalkan asrama pergi mengembara kedalam hutan dan gunung yang sunyi. Akhirnya pada malam hari,waktu bayi hendak lahir,mereka berdua menuju kesebuah desa yang bernama Maddha terletak di dekat kaki gunung semeru. didesa itulah sang Bayi dilahirkan disebuah “Bale-Agung” yang ada di Kahyangan (Temple) desa tersebut. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa desa Maddha,kemudian dibawa ke Wilatikta oleh seorang patihdan kemudian diberi nama Maddha jadi jika demikian halnya nama Maddha berasal dari nama desa.
Nama Gajah oleh B.G.M sama sekali tidak disebutkan.kemungkinan besar nama gajah adalah nama kemungkinan nama tambahan atau nama julukan atau bisa juga nama Jabatan (Abhiseka) bagi sebutan orang Kuat (?)
dengan demikian Gajah Mada berarti Orang kuat yang berasal dari Maddha.
4. Mengenai nama orang Tua Gajah Mada, ayahnya bernama Curadharmawyasa dan ibunya bernama Nariratih (B.G.M. hal 2a) Setelah mereka disucikan (Abhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat,nama mereka berubah menjadi Curadharmayogi dan Patni Nariratih (B.G.M hal 3b) meraka berdua adalah brahmana (B.G.M hal. 2a)
Adapun didalam B.G.M hal. 9b, yang menyebutkan bahwa Patni Nariratih bersenggama dengan Dewa Brahma yang berganti rupa seperti suaminya sehingga Gajah Mada seolah-olah dilahirkan atas hasil senggama antara Patni Nariratih dengan Dewa Brahma, dapat kita tafsirkan sebagai berikut:
Pengungkapan Mitos demikian itu sudah tentu sukar diterima oleh akal mengingat motif yang demikian itu sudah banyak terdapat p[ada penulisan-penulisan babad, maka perlulah dicari Latar belakang dari hal-hal yang dimythoskan itu
Perkiraan yang dapat kami tangkap adalah:
a. Mpu Curadharmayogi dan istrinya Patni Nariratih adalah melakukan brata “Sewala Brahmacari” yang berarti sejak mereka menjadi pendeta mereka tidak diperbolehkan untuk berhubungan sex atau senggama oleh karena itu mereka berpisah tempat Sang suami ber asrama di Gili Madri sedangkan Sabng istri bertempat tinggal di Wilatikta tetapi kedua suami istri ini masih saling bertemu karena sang istri acapkali membawakan makanan untuk sang suami.
b. Pada suatu ketika yaitu pada hari Coma, Umanis, Tolu, Cacil ka daca (senin, Legi, Tolu ,bulan april) Patni Nariratih membawakan suaminya santapan. Pada waktu hendak makan,air minum tiba-tiba tumpah.Dengan tidak sadar keluarlah kata-kata dari Patni Nariratih : “ih ah palit dewane plet”yang maksudnya kemaluan suaminya kelihatan (B.G.M ha. 7a). Dalam B.G.M hal.7b dikatakan bahwa kata-kata tersebut didengar oleh Dewa Brahma. disinilah menurut Interpretasi kami bahwa yang mendengar hal tersebut tidak lain adalah suaminya sendiri, sehingga timbuh hasrat birahi ingin bersenggama dengan suaminya,Akhirnya senggama tersebut terjadi antara Patni Nariratih dengan suaminya sendiri
Mengapa demikian, karena menurut interpretasi kami, Brahma adalah sebagai dewa pencipta/penumbuh (konsep trimurti) dan ini sering digunakan sebagai mythologi sebagai sumber kelahiran seseorang yang ke-namaan atau termasyur.
Jadi logislah disin untuk menyembunyikan perbuatan Mpu Curadharmayogi maka dipakailah Dewa Brahma sebagai gantinya. Mengapa dikatakan senggama itu terjadi dengan Dewa Brahma, Kiranya ini untuk menyembunyikan perbuatan Mpu Curadharmayogi sebagai seorang”Sewala-brahmacari” itulah sebabnya setelah Patni Nariratih hamil mereka segera pergi dari asrama unuk menyembunyikan diri.
c. Mengenai Lahirnya Sang bayi pada balai agung di sebuah kahyangan di desa maddha. ini kira-kiranya memang diusahakan oleh Mpu Curadharmayogi dan Patni Nariratih menurut penafsiran kami:
Balai Agung adalah merupakan sebuah balai yang patut ada di dalam sebuah “Kahyangan Desa”(Pura desa) yang berfungsi sebagai tempat membersihkan diri dari noda-noda spritual.
Hal yang demikian ini dapat dibandingkan dengan keadaan di Bali sampai sekarang, Bahwa Bale-Agung terletak didalam Pura Desa yaitu salah satu Kahyangan Tiga yang ada pada tiap-tiap desa. Pura Desa ini adalah Sthana Dewa Brahma dalam fungsi sebagi pencipta. Jadi logislah orang tua Gajah Mada mengusahakan Balai Agung sebagai tempat untuk melahirkan bayi dengan maksud :
- Proses kelahiran berjalan lancar bayi terhindar dari noda-noda spritual
- Supaya bayi tersebut dianggap dilahirkan dari sumber pebcipta
-Supaya ada orang yang memungut dan memeliharanya

Patih Gadjah Mada, Jenderal Nusantara penakluk dunia!
Pemerintah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, membentuk tim untuk penelusuran sejarah Gajah Mada. Tim diarahkan pada penggalian data menyangkut kemungkinan bahwa Maha Patih Majapahit yang dikenal dengan Sumpah Palapa itu berasal dari Lamongan.

Tim yang dibentuk oleh Bupati Masfuk dan mulai bekerja pekan ini diperkuat sejumlah budayawan. Pelaksana tugas Asisten Administrasi Lamongan, Aris Wibawa, kemarin mengatakan tim akan melakukan riset sejarah Gajah Mada di sejumlah museum di Surabaya, juga Trowulan, Mojokerto, dan beberapa tempat peninggalannya.

Aris menyebutkan, dalam seminar dan rembuk budaya di Lamongan beberapa waktu lalu, dibahas keberadaan dan asal-usul Gajah Mada. Budayawan Lamongan Viddy A.D. Daery menyebutkan sejumlah cerita rakyat mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah anak kelahiran Desa Mada (sekarang Kecamatan Modo, Lamongan). Di zaman Majapahit (1293-1527), wilayah Lamongan bernama Pamotan.

Berdasarkan cerita rakyat, Gajah Mada adalah anak Raja Majapahit secara tidak sah (istilahnya lembu peteng atau anak haram) dengan gadis cantik anak seorang demang (kepala desa) Kali Lanang. Anak yang dinamai Joko Modo atau jejaka dari Desa Mada itu diperkirakan lahir sekitar tahun 1300.

Kakek Gajah Mada, yang bernama Empu Mada, membawa Joko Modo ke Desa Cancing, Kecamatan Ngimbang. Wilayah yang lebih dekat dengan Biluluk, salah satu pakuwon di Pamotan, benteng Majapahit di wilayah utara. Sedangkan benteng utama berada di Pakuwon Tenggulun, Kecamatan Solokuro.

Salah satu bukti fisik bahwa Gajah Mada lahir di Lamongan ialah situs kuburan Ibunda Gajah Mada di Desa Ngimbang. Digambarkan, Joko Modo ketika itu berbadan tegap, jago kanuragan didikan Empu Mada. Di kemudian hari, dia diterima menjadi anggota Pasukan Bhayangkara (pasukan elite pengawal raja) di era Raja Jayanegara.

Ia menyelamatkan Jayanegara yang hendak dibunuh Ra Kuti, patih Majapahit. Gajah melarikan Jayanegara ke Desa Badander (sekarang masuk wilayah Bojonegoro) di wilayah Pamotan. Dari bukti-bukti itu, tim pelacakan Gajah Mada akan membuat dokumen. Tim akan bekerja sekitar enam bulan langsung di bawah pengarahan bupati.

Pada masa kepemimpinan Patih Gajah Mada ini nusantara kita pernah mengantarkan kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan terbesar sepanjang sejarah, wilayah kekuasaannya yang begitu luas yang meliputi Sumatera,semenanjung Malaya, Borneo (kalimantan), Sulawesi, Kepulauan Nusa tenggara, Maluku,Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.

Dimana letak kemisteriusan seorang gajah mada. Gajah Mada, sampai sekarang tidak ada bukti tertulis mengenai tempat dan tanggal lahirnya. Ia memulai karirnya di Majapahit sebagai bekel Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri. ada sedikit dasar tentang kenapa dia dianggap dari daerah Modo - Lamongan. di daerah Cancing Ngimbang banyak ditemukan prasasti - prasasti yang diduga kuat peninggalan Majapahit, dan lagpula daerah ini adalah yang terdekat dengan perbatasan Lamongan - Mojokerto. tepatnya di daerah Mantup, 20 kilometer selatan Lamongan. jadi sangat mungkin bila Gajah Mada berasal dari Lamongan. mengingat kuatnya bukti bukti prasasti yang ada di daerah inibahkan tempatnya juga sangat teratur sebagai tanah perdikan. termasuk beberapa makam kuno prajurit. juga makam kuno yang diduga kuat sebagai makam ibunda Gajah Mada. Nyai Andong Sari.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334).



Sumpah Palapa

Pada waktu pengangkatannya ia mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru akan menikmati palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut:
“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”

(Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada "Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa (kebahagiaan).)

Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.
(sepertinya inilah latar belakang dilarangnya seorang gadis Sunda untuk mendapatkan suami Jawa...karena akan membangkitkan kenangan buruk di masa lalu...)

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Akhir hidup

Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering ato loro (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Fakta-fakta Terselubung Kerajaan Majapahit yang menunjukkan bahwa seorang muslim

Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasisi pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia. Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara. Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan Mojokerto ini. Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara. ‘Kegelisahan’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakta-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’. Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara. Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat dimasa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut. Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam masyarakat. Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut: 1. Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid. 2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam. 3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini. Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam. 4. Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran sufi, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu. Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo. Di samping itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisanGajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’. Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘LaIlaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim. 5. Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu. Dampak selanjutnya adalah terjadinya eksodus besar-besaran kaum muslim dari TimurTengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara (Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranak pinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaanNusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit. Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarahitu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan.Wallahu A’lam Bishshawab. Hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui. source: http://danish56.blogspot.com/2010/11/fakta-fakta-tersembunyi-dari-kerajaan.html

Minggu, 24 Oktober 2010

Selasa, 19 Oktober 2010

MENGANGKAT NAMA SEKOLAH LEWAT KARYA ILMIAH

Telur Asin Sangrai yang Awet dan Masir

  • Kiprah Mahasiswa Fakultas Peternakan Undip
SIAPA yang tidak kenal telur asin? Benda bulat berwarna hijau itu telah lama menjadi kegemaran masyarakat Indonesia. Bukan hanya itu, telur bebek yang diasinkan itu juga menjadi primadona ekonomi masyarakat di Kabupaten Brebes. Menurut data Dinas Penanaman Modal Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Brebes, kapasitas produksi telur asin di Brebes mencapai 45,1 juta butir per tahun.
Telur asin (salty egg) ternyata tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga dikenal sebagai makanan tradisional di berbagai negara seperti China, Thailand, dan Jepang. Namun kualitas produksi dan inovasi perlu terus dikembangkan, agar lebih memenuhi keinginan pasar.
Pada kenyataannya, telur asin memang sering menjadi bahan penelitian. Di antaranya siswa SMP Negeri 1 Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, yang pada tahun 2004 berhasil membuat telur asin aneka rasa. Telur asin yang memiliki rasa jeruk, jahe, atau pedas (cabe) itu menjadi salah satu finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) 2004.
Selain itu, terus dilakukan pembaruan teknik pengolahan agar lebih memenuhi standar kualitas produk, termasuk soal keawetan dan daya tahannya.
Hal itulah yang dilakukan tiga mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang, yaitu Eli Subandiyah, Novita Rahmawati, dan Nichia Alies.
Menurut Eli Subandiyah, selama ini yang tersedia di pasaran adalah telur asin yang dimasak dengan cara kukus, rebus, atau oven. ''Kami mencoba melakukan diversifikasi produk dengan model sangrai,'' ujarnya.
Eli menjelaskan, pengasinan merupakan proses penetrasi garam ke dalam telur dengan cara difusi. Proses difusi terjadi setelah garam berubah menjadi ion Na+ dan Cl-. Garam berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa (flavour), sementara air sebagai media difusi (carrier).
Keamisan Rendah
''Jumlah penetrasi air ke dalam telur telah mencapai ideal pada masa pengasinan. Namun pada saat telur direbus terjadi penambahan kadar air. Kelebihan kadar air inilah yang mengurangi keawetan telur asin,'' ujarnya. Untuk itulah, ketiga mahasiswa ini membuat diversifikasi produk telur asin yang kadar airnya tidak terlalu tinggi. ''Kondisi itu bisa tercapai dengan metode oven atau sangrai,'' jelasnya.
Berdasarkan uji organoleptik terlihat telur asin sangrai memiliki tingkat keamisan yang rendah (36,62 persen), namun lebih awet tiga minggu dibandingkan dengan telur asin rebus.
Indikator lain seperti tingkat kemasiran, tekstur kuning, tekstur putih telur, tekstur cangkang, dan tekstur warna cangkang telur asin sangrai juga lebih baik.
Mengapa bisa demikian? Sebab kadar air dalam telur sangrai tidak berlebihan. Kadar air telur asin rebus sekitar 42,77 persen, sedangkan sangrai hanya 37,09 persen.
Yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat dapat menikmati telur asin sangrai produksi Fakultas Peternakan Undip ini? Menurut Eli, telur asin itu sudah memiliki merek dagang Karoten, dan mulai dipasarkan di wilayah Semarang dan sekitarnya. ''Kapasitas produksinya masih kecil, sekitar 300 butir per minggu,'' ujar mahasiswi asal Kebumen ini.
Proses pembuatan telur asin sangrai tak jauh berbeda dengan model rebus. Bedanya hanya pada pemasakan. Telur asin rebus biasanya dimasak dengan cara direbus selama dua jam. Sedangkan telur asin sangrai mula-mula direbus selama 30 menit, kemudian disangrai selama satu jam.
Penelitian tentang telur asin sangrai ini telah diikutkan dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa (Pimnas) 2006 di Universitas Muhammadiyah Malang. Meski tidak menggondol piala, kata anggota tim Novita Rahmawati, tak terlampau kecewa.
Mereka merasa berhasil meningkatkan kualitas telur asin, yakni lebih awet.
Menurutnya, ini bisa membantu produsen dalam memperluas pangsa pasar. ''Termasuk bisa menembus pasar supermarket yang menuntut standar kualitas produk lebih tinggi daripada pasar tradisional,'' ujarnya. (Panji Sa-trio-32)

Selasa, 12 Oktober 2010

DI LAMONGAN BELAJAR BAHASA MANDARIN

"Zao shang hao. Ni hao ma?" seorang remaja putri fasih mengucapkannya. Kalimat dalam bahasa Mandarin yang artinya "selamat pagi, apa kabar ini" dengan lancar diucapkan Farlinda Nur Beauty, nama remaja siswi SMA Negeri 2 Lamongan, Jawa Timur. "Ternyata setelah dipelajari, bahasa Mandarin itu asyik juga," ujar Farlinda, 16 tahun, kepada Gatra, Kamis pekan lalu.

Sudah dua tahun ini Farlinda dan rekan-rekannya mendapat pelajaran bahasa Mandarin di sekolah mereka. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lamongan, Mustofa Nur, tercatat ada lima SD, delapan SMP, enam SMA, dan dua SMK di Lamongan yang memberikan pelajaran bahasa Mandarin dalam kegiatan ekstrakurikulernya. Bahkan, untuk SMA Negeri 2 Lamongan, pelajaran bahasa Mandarin menjadi kurikulum muatan lokal sekolah, sehingga wajib diikuti oleh seluruh siswa.

Sekolah tingkat SD yang memiliki program ekstrakulikuler bahasa Mandarin adalah SD Negeri Gebang Angkrik 2 Kecamatan Ngimbang, SD Negeri Jetis 3, dan SD Negeri Made 4 Kecamatan Lamongan. Di SD Negeri Gebang Angkrik 2, Kecamatan Ngimbang, ekstrakulikuler bahasa Mandarin cukup berkembang pesat karena guru pengajarnya lulusan bahasa dan sastra Mandarin dan berbahasa Mandarin aktif. Sementara itu, dua SD negeri di Kota Lamongan bekerja sama dengan lembaga kursus bahasa Mandarin.

Di tingkat SMP dan sederajat, bahasa Mandarin dikembangkan di SMP Negeri 2 Lamongan. Untuk tingkat SMA dan SMA, sekolah yang tercatat memprogramkan bahasa Mandarin dalam ekstrakurikulernya adalah SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Lamongan, SMA Negeri Paciran, SMK Negeri Lamongan, SMA Negeri Babat, dan SMK Muhammadiyah 5 Babat. "Nantinya kami akan masukkan bahasa Mandarin sebagai kurikulum muatan lokal di seluruh sekolah agar lebih efektif," kata Mustofa.

Adalah Bupati Lamongan, Masfuk, SH, yang punya gagasan pembelajaran bahasa Mandarin bagi siswa sekolah di Lamongan. Diungkapkan Masfuk, gagasannya tersebut bertujuan untuk memberikan nilai tambah bagi masyarakat Lamongan dan menangkap peluang bisnis. Masfuk mengatakan bahwa saat ini sudah banyak investor dari luar negeri yang tertarik menanamkan modalnya ke Lamongan. Terutama investor yang berasal dari Republik Rakyat Cina (RRC). "Seandainya warga Lamongan pintar bahasa Mandarin maka akan punya daya saing tersendiri dibandingkan dengan daerah lain," kata Masfuk.

Jika masyarakat Lamongan sudah memiliki daya saing dan mau bekerja keras, ujar Masfuk, maka tugas selanjutnya adalah mengelola sumber daya yang ada. Melalui penguasaan bahasa Mandarin, diharapkan bisa membangkitkan ekonomi Lamongan. Menurut Masfuk, saat ini sudah ada beberapa investor asal negeri tirai bambu itu yang menyatakan minat berinvestasi. Mereka juga berniat membangun sejumlah pabrik di wilayah Lamongan. "Bahkan para investor RRC sudah menyediakan dana investasi mereka di Lamongan senilai Rp 25 trilyun," ujar Masfuk.

Kelak, kata Masfuk, jika investasi dari Cina mengucur di Lamongan, maka masyarakat Lamongan bisa menjadi tenaga kerja terampil yang sudah fasih berkomunikasi bahasa Mandarin. Dengan begitu mereka lebih mudah beradaptasi dan menyesuaikan etos kerja perusahaan milik investor Cina. Saya tahu warga Lamongan adaptif, mau mengubah nasib, gigih, dan pekerja keras," ujarnya. Jika masyarakat Lamongan pintar, justru didatangi pasar tenaga kerja dan tidak perlu merantau. "Mereka bisa mengembangkan daerahnya sendiri," ia melanjutkan.

Untuk mewujudkan gagasannya tadi, mulai tahun ajaran 2008/2009, Masfuk melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan agar di setiap kecamatan paling tidak ada satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pembelajaran bahasa Mandarin. Awalnya dilakukan uji coba. Sebagai pilot project ditunjuk tiga sekolah negeri yaitu SMA Negeri 2 Lamongan, SMA Negeri Paciran, dan SMP Negeri 1 Lamongan. Uji coba sukses. Ini terbukti dengan banyaknya sekolah negeri dan swasta dari berbagai jenjang pendidikan yang kemudian memberikan pelajaran bahasa Mandarin di sekolah mereka.

Program pembelajaran bahasa Mandarin di kabupaten berpenduduk 1,5 juta jiwa ini gaungnya sampai pula ke luar negeri. Misalnya, surat kabar The New York Times melakukan peliputan khusus. Dalam artkelnya yang dipublikasikan 1 Mei lalu, koran asal Amerika Serikat ini memuat aktivitas belajar-mengajar bahasa Mandarin di salah satu sekolah SMA di Lamongan. Disebutkan dalam artikel itu, terobosan Bupati Masfuk dianggap sebagai kebijakan berani yang tidak ada di wilayah lain. Masfuk juga dipuji sebagai pemimpin yang punya visi jauh ke depan.

GATRA (Dok. GATRA)

Yang namanya program baru, tentu butuh proses untuk bisa mencapai kesuksesan. Demikian pula program kurikulum bahasa Mandarin. Menurut Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Lamongan, Drs. Khusnan M.Z., MM, ketika sekolahnya ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Lamongan sebagai bagian dari pilot project, pada mulanya program kurikulum bahasa Mandarin ini hanya menjadi materi pelajaran tambahan. Itu pun pelaksanaanya di luar jam pelajaran sekolah. Pesertanya dibatasi hanya satu kelas. "Tapi, karena banyak siswa yang berminat, maka oleh pihak sekolah ditambah jadi dua kelas," ucap Khusnan.

Beruntung, sebagai pilot project, sekolah mendapat bantuan dana operasional dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 50 juta per tahun. Oleh pihak sekolah, ungkap Khusnan, dana tersebut dipergunakan untuk membeli TV LCD, VCD program bahasa Mandarin, buku panduan, alat tulis kantor, serta biaya honor para pengajarnya. Namun, porsi dana yang terserap lebih besar untuk honor dua pengajar bahasa Mandarin. Mereka secara khusus didatangkan dari lembaga kursus bahasa Mandarin di Surabaya. "Untuk tiap semester, honor guru pengajar bahasa Mandarin mencapai Rp 10 juta," urainya.

Selain bantuan dana, setiap tahun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lamongan menggelar lomba pidato bahasa Mandarin. Tujuannya, mendorong para siswa menyukai pelajaran bahasa Mandarin. Animo siswa mengikuti lomba pidato cukup tinggi. Misalnya, lomba pidato yang digelar 16 Juni lalu. Sebanyak 66 siswa dari berbagai sekolah se-Lamongan mengikuti lomba yang dibuka oleh Bupati Masfuk. Ketika itu, sebagian peserta bahkan berpidato tanpa menggunakan teks. Salah satunya Karina Fefi Laksana Sakti, yang meraih juara kedua. "Jika kita ingin menguasai suatu negara maka kuasailah bahasa mereka," jawab Karina ketika ditanya alasannya menyukai bahasa Mandarin.

Dalam pandangan pemerhati bahasa Mandarin, Hartono, pembelajaran bahasa Mandarin memang sebaiknya dimulai sejak jenjang bangku sekolah. "Kalau diajarkan melalui sekolah, akan lebih banyak orang Indonesia yang di kemudian hari mahir berbahasa Mandarin," ujarnya.

Hartono, yang juga pemilik lembaga pendidikan bahasa Mandarin, mewanti-wanti jangan sampai kebijakan yang digagas Masfuk ini berhenti di tengah jalan begitu Masfuk tak lagi memimpin Lamongan. "Yang dikawatirkan di Indonesia ini, seringkali ganti kepemimpinan ganti kebijakan," ia menegaskan.

Sujud Dwi Pratisto, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)
[Pendidikan, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 27 Juli 2010]

PULAU JAWA DAN TRIK MUDIK LEBARAN

Sudah menjadi tradisi bangsa indonesia, bahwa saat lebaran orang-orang pada mudik ke kampung halaman, bersilaturahmi bersama keluarga di kampung halaman.Berikut adalah peta mudik yang saya ambil dari alamat http://www.cybermap.co.id/cybermudik/pop.petamudik.2008.php.
Untuk mendownload tinggal click masing-masing image tersebut. Biasanya peta ini secara hardcopy sudah didistribusikan oleh Departemen Perhubungan, dan saya kebetulan juga sudah ada versi hard copynya. Jika para pembaca belum mendapatkanya bisa mendownload langsung dibawan ini.
Peta Pulau Jawa Bakosurtanal
Peta Jalan Bakosurtanal
Tip & Trik Mudik
Selama saya di Jakarta saya selalu pulang kampung (mudik) tiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, Pengalaman paling berkesan adalah pernah membawa kendaraan untuk pulang kampung ke Ngimbang non stop sehari semalam jadi sopir karena mobil baru dijual dan belum ada penggantinya akhirnya numpang sama Saudara eh, giliran numpang disuruh jadi sopir Jakarta - Ngimbang Non Stop berangkat dari Jakarta jam 12 malam nyampai di Ngimbang Pas buka Puasa, Biasanya saya selalu pulang disopiri kadang gantian karena kurang hafal jalan.
Berdasarkan pengalaman pulang kampung ke Ngimbang berikut adalah tip & trik pulang kampung ke daerah Ngimbang - Lamongan dan sekitarnya :
Sebelum berangkat lebih baik check kondisi kendaraan, tekanan ban, air radiator, air aki, minyak rem, minyak power steering dll
Berangkatlah ketika di waktu-waktu yang jarang orang berangkat (biasanya orang berangkat waktu habis tarawih, tengah malam, atau habis sahur), misalnya siang hari terik. Saya sudah beberaapa kali pulang kampung berangkat jam 11 siang,  atau sehabis sholat asar saya mengambil cuti satu jauh hari sebelum lebaran, dan jarang menemukan macet yang terlalu parah, Kenapa ..?
  • Biasanya pada berangkat malamnya, saya dari siang sudah berangkat duluan
  • Sudak tidak ada lagi pasar tumpah disiang hari, dimana pasar tumpah ini biasanya menjadi biang kemacetan
  • Orang-orang pada malas kalau berangkat siang-siang karena panas
  • Di siang hari perjalanan lebih aman dan tidak terlalu ngantuk
Persiapkan makanan/minuman untuk berbuka (bagi yang puasa). Karena kita tidak tahu pas magrib nanti ada tidak warung/tempat berbuka yang layak buat kita. Dan Biasanya warung/tempat makan sangat ramai menjelang waktu berbuka puasa
Kalau ngantuk atau cape beristirahatlah. POM Bensin adalah tempat faforit untuk beristirahat, sambil mengisi bensin dan sholat.
Ikuti aturan lalulintas yang ada dan patuhi perintah petugas.
Waktu di perjalanan jangan sepaneng, nikmati perjalanan mudik anda, walaupun dalam kondisi macet atau berhenti sekalipun.
Jalur Mudik Jakarta Ngimbang
  • Jalur Selatan : Dari tol Cikampek, langsung masuk Tol Cipularang, nagrek, ciamis, tasik malaya, majenang, wangon, Kebumen, Magelang, Solo, Ngawi, cepu, Bojonegoro, Babat, Ngimbang
  • Jalur Utara : Dari Tol Cikampek belok kiri, Cirebon, Tegal, Semarang,Demak, Kudus, Juwana, Rembang,Tuban, Babat, Ngimbang.

Rabu, 29 September 2010

Ngimbang Masuk dalam Sejarah Nasional dalam Perkembangan Bumi Pertiwi

Wednesday, 11 November 2009
Makam Nyi Putri Andongsari

Konon di Lamongan terdapat makam ibunda dari Patih yang tersohor dari Kerajaan Majapahit Patih Gajah Mada. Makam tersebut sering disebut makam Mbah Ratu. Makam Mbah Ratu tersebut dapat di akses melalui rute jalan propinsi Babat Jombang.
Adalah di desa Cancing suatu desa yang berada di tengah hutan jati di wilayah Kecamatan Ngimbang, disana terdapat suatu bukit yang cukup tinggi sekitar 100 meter yang berada di sebelah selatan jalur jalan desa Girip Cancing. Bukit yang cukup sejuk karena dinaungi oleh beberapa pohon jati dan jenis fiscus yang batangnya besar dan daun-daunnya sangat rindang. Tepat diatas bukit terdapat bangunan yang mirip padepokan yang disalah satu bangunan tersebut terdapat Makam Dewi Andong Sari yang merupakan ibunda dari mahapatih Gajah Mada.

Bangunannya sangat terawat dan bersih yang setiap hari dikelola dan dirawat oleh Mbah Sulaiman seorang juru kunci dari Makam tersebut. Inilah bukti fisik akan keberadaan asal usul Gajah Mada. Menurut Mbah Sulaiman keberadaan makam tersebut adalah sebuah bukit yang dulunya merupakan petilasan dari Dewi Andong Sari yang diusir dari Majapahit karena irihati dari permaisuri Dara Petak dan dara Jingga karena dikhawatirkan memiliki seorang putra. Dibukit inilah tempat Dewi Andongsari menjalani hari-harinya sampai akhirnya melahirkan, namun sayang meninggal seketika, sehingga Joko Modo sewaktu kecil tidak mengenal ibunya. Dewi Andongsari dimakamkan di situ dan sampai sekarang masih dijaga dan dirawat dengan baik.
CERITA RAKYAT NGIMBANG DAN MODO SEKITARNYA TENTANG ASAL USUL GAJAH MADA
Diawal berdirinya Majapahit, yaitu pada akhir abad XIII M, didesa Cancing (sekarang masuk kecamatan Ngimbang) kedatangan sekelompok prajurit Majapahit yang sedang mengiringkan garwo selir Raden Wijaya yang sedang mengandung selir raja tersebut bernama Dewi Andong sari.
Sekelompok prajurit tersebut mendapat tugas rahasia untuk menyingkirkan (mungkin membunuh) Dewi Andong Sari, tapi karena suatu hal Dewi Andong Sari tidak dibunuh melainkan hanya disembunyikan disuatu desa yang terletak di dalam hutan jauh daripusat pemerintahan majapahit 

Makam Sendang duwur
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.
Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, terdapat di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran. Walaupun komplek makam terletak di dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.
Boyong Masjid dalam Semalam
Situs makam Raden Noer Rachmat alias Sunan Sendang Duwur makin ramai pengunjung. Selain berziarah, mereka ingin melihat peninggalan bersejarah salah satu sunan berpengaruh dalam syiar agama Islam di Jawa itu.
Sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dipisahkan dari sejarah Sunan Sendang Duwur. Bukti peninggalan, makam dan masjid kuno, memberi jawaban bagaimana kiprah sunan yang makamnya terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, itu.
Data dari berbagai sumber menyebutkan, masjid kuno itu menyimpan sejarah yang berbeda dengan pembangunan masjid lainnya. Sebab, tempat ibadah umat Islam ini tidak dibangun secara bertahap oleh Sunan Sendang Duwur, melainkan melalui suatu kemukjizatan.
Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.
Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
Ajaran Relevan
Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur terus melakukan syiar agama Islam. Salah satu ajaran yang masih relevan pada zaman sekarang adalah : "mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu" (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu. Ajaran sunan ini menghimbau pada seseorang agar berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.
Hubungan Sunan Drajad dengan Sunan Sendang Duwur sangat erat dalam siar agama Islam, dan hubungan itu terus mengalir sampai kini. Terlihat, tidak jarang para peziarah ke makam Sunan Drajad di Desa Drajad, Kec. Paciran untuk singgah ke Sunan Sendang Duwur.
Masjid itu kini sudah berusia 477 tahun (didirikan R. Thoyib di Mantingan pada 1531). Karena usianya yang tua, beberapa konstruksi kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi makam, di sekitar masjid. Maski masjid kuno itu sempat dipugar, arsitektur masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada zamannya.
Bangunan yang menunjukkan Hinduistis masih tampak di masjid dan makam. Meski halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman sendiri-sendiri.
Dari arah jalan, yang tampak lebih dulu adalah kompleks pecandian. Sedangkan gapura halaman berbentuk mirip Candi Bentar di Bali. Bentuk candi seperti ini telah dikenal sejak zaman Majapahit, seperti Gapura Jati Pasar dan Waringin Lawang. (kadam mustoko).

"Walisongo" berarti sembilan orang wali" Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad (Drajat-lamongan), Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Wali yang ada di daerah Lamongan :
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel.Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar atau beri pakaian pada yang telanjang".
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak anak yatim piatu dan fakir miskin.


Makam Sendang Dhuwur
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.
Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, terdapat di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran. Walaupun komplek makam terletak di dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.
Boyong Masjid dalam Semalam
Situs makam Raden Noer Rachmat alias Sunan Sendang Duwur makin ramai pengunjung. Selain berziarah, mereka ingin melihat peninggalan bersejarah salah satu sunan berpengaruh dalam syiar agama Islam di Jawa itu.
Sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dipisahkan dari sejarah Sunan Sendang Duwur. Bukti peninggalan, makam dan masjid kuno, memberi jawaban bagaimana kiprah sunan yang makamnya terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, itu.
Data dari berbagai sumber menyebutkan, masjid kuno itu menyimpan sejarah yang berbeda dengan pembangunan masjid lainnya. Sebab, tempat ibadah umat Islam ini tidak dibangun secara bertahap oleh Sunan Sendang Duwur, melainkan melalui suatu kemukjizatan.
Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.
Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
  Sejarah Sunan Drajat
 

 Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyer - Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.
Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me
Panji Laras Dan Lamongan

Sebuah tradisi yang diduga berhubugan dengan sejarah leluhur Lamongan, Panji Laras Liris, masih di ugemi sebagian warga Soto. Yakni, calon pengantin perempuan harus meminang (melamar) calon pengantin laki-laki.
Tradisi ini masih berhubungan dengan sejarah salah satu leluhur Kab. Lamongan yang bernama Mbah Sabilan.Dalam riwayat panji laras liris di ungkapakan,pada sekitar tahun 1640-1665 Kab.Lamongan dipimpin Bupati ketiga.Yakni, Raden Panji Puspa kusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati. Bupati itu mempunyai dua putra yaitu panji laras dan panji liris,sehingga mengakibatkan dua putri dari Adipati Wirasaba(wilayahnya sekitar kertosono nganjuk) yakni Dewi Andanwangi dan Dewi Andansari jatuh hati.
Karena Adipati Wirasaba didesak oleh ke dua putrinya akhirnya beliau menuruti keinginan putrinya untuk melamar panji laras dan panji liris di Lamongan,yang pada saat itu wirasaba belum memeluk agama islam, sedangkan di Lamongan islam sudah sangat melekat.
Untuk menyikapi hal itu panji laras dan liris meminta hadiah berupa dua genuk dan dua tikar yang terbuat dari batu, sebab genuk mangandung isyarat tempat untuk mengambil air wudhu sedangkan tikar untuk sholat yang mempunyai tujuan agar Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi mau masuk islam.
Kemudian Adipati wirasaba memenuhi permintaan itu,dan ke dua putrinya membawa langsung benda-benda tersebut dengan naik perahu yang di kawal oleh prajurit.Kedatangan ke dua putri tersebut di sambut langsung oleh panji laras liris di pinggir kali lamongan.
Ketika akan turun dari perahu kain panjang Dewi Andansari dan Dewi Andawangi terbuka dan kelihatan betisnya.Melihat betis ke dua putri tersebut panji laras maupun panji liris tercengang ketakutan karena melihat betis ke dua putri itu berbulu lebat.
Hal itu merupakan suatu penghinaan bagi prajurit Wirasaba,kemudian mereka mengejar panji laras dan panji liris demikian pula prajurit dari lamongan juga harus melindungi kedua pemuda tersebut yang akhirnya terjadi perang Babad.Dalam perang tersebut panji laras dan panji liris tewas,termasuk Pati Mbah Sabilan.
Jenazah mbah Sabilan dimakamkan di kelurahan Tumenggungan, lamongan , sedangkan jenazah panji laras dan panji Liris tidak ditemukan yang saat ini nama panji Laras dan panji Liris dan Dewi Andansari serta Dewi Andanwangi menjadi nama jalan di kota lamongan.Jalan tersebut di beri nama jalan Laras-Liris dan jalan Andanwangi serta jalan Andansari
Mbah Sabilan maupun panji laras dan panji liris dinilai meninggal dunia ketika sedang berjuang untuk syiar Islam.

SOSOK EKA BUDIANTA SASTRAWAN KELAS DUNIA PAK DOKTOR INI ORANG NGIMBANG


Sastrawan
Eka Budianta



Lahir dari pasangan guru, Daoeni Andajani, sang ibu mulai pernikahannya dengan Astroadi Martaredja sang ayah, pada 1 Februari 1956. Eka memang pandai membuat cerita sendiri. Kepada anak perempuannya, Theresia Citraningtyas Budianta, Eka sering bercerita bahwa dia anak pohon sawo, sebab di bawah pohon itu ia lahir dan ditemukan. Tak berlebihan kalau Citra kemudian menganggap Eka sebagai titisan bumi, sebab manusia mana yang bisa secara pribadi mengenal semua pohon yang dijumpainya.

Pada bagian buku Pagi Tanpa Batas, Eka ingin menyampaikan pesan bahwa yang paling penting saat ini adalah pagi, pagi dan pagi. Pagi tanpa batas, hidup yang senantiasa segar, bumi yang senantiasa sejuk dengan matahari yang selalu siap memancar. Sungguh luar biasa, sebagaimana goresan dari teman-teman Eka di dunia sastra di antaranya Budi Darma, Putu Wijaya, Ikranegara, Ernst Ulrich Kratz, dan Danarto yang telah membuat pagi dalam hidupnya menjadi bermakna abadi. ‘

Pada Buku Empat dan lima bagi Eka, dengan caranya sendiri, ia menyebutkan lima macam lima puluh perdana yang berpengaruh dan ikut menentukan hidupnya. Yaitu 50 lembaga yang paling membantu hidupnya, 50 nama yang telah memperindah hidup, 50 orang yang ikut membentuk hidup, 50 puluh pohon terdekat dan 50 kota tercinta. Melalui visinya, Eka seakan mengingatkan pada dinding kaca bening di ruang tamu. Kadangkala kaca itu bisa menjadi cermin tempat kita bisa menemukan wajah kita di dalamnya, termasuk suksesnya meraih gelar Doktor Kesusastraan di luar negeri.

Melani Budianta, sang istri, merupakan sosok di balik senyum dan semangat hidup Eka. Menurut Eka, isterinya sudah terlalu banyak memberi. Ia sudah memberi hadiah bermacam-macam.

Dalam buku terakhirnya, Eka menawarkan sebuah formula agar hidup ini bisa bermakna, yaitu Chito : Catatan, Hobi, Ide, Tabungan dan Organisasi. Formula Chito adalah hikmah dari kehidupan senang dan sedih, gagal dan sukses yang dialami Eka selama 50 tahun di bumi.

Eka mengingatkan bahwa zaman yang kita masuki penuh dengan berbagai informasi dan kepentingan. Untuk melaluinya dengan nyaman, kuncinya terletak pada keperdulian kita. Dan untuk peduli itu kita harus kuat. Kita memerlukan pribadi yang tangguh dan merdeka. Siap mekar di bumi..
Nama :
Christophorus Apolinaris
Eka Budianta

Lahir :
1 Februari 1956

Pendidikan :
SMA jurusan Budaya, Malang (1974),
Jurusan Sejarah, Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia (1975-1979, tidak tamat),
Pendidikan Jurnalistik Los Angeles Trade-Technical College, Amerika Serikat (1980-1981, tidak tamat) 

Karier :
Wartawan Tempo
(1980-1983),
Dosen Bahasa di Cornell University Ithaca, New York, Amerika Serikat,
Koresponden Koran Jepang Yomiun Shimbun
(1984-1986),
Asisten pada kantor Penerangan PBB Jakarta (1987),
Penyiar BBC London
(1988-1991)

Penghargaan :
Hadiah Sastra DKJ (1984),
Memperoleh Ashoka Fellowship (1987),
International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1987)

Karya :
Bang Bang Tut
(Kumpulan Puisi, 1976),
 Ada (Kumpulan Puisi, 1976),
Bel
(Kumpulan Puisi, 1977),
Rel (Kumpulan Puisi, 1977),
Sabda
Bersahut Sabda (Antologi puisi bersama Azmi Yusoff, 1978),
Cerita di Kebun Kopi
(Kumpulan Puisi, 1981),
Sejuta Milyar Satu
(Kumpulan Puisi)
Lautan Cinta
(Kumpulan Puisi, 1988),
Rumahku Dunia
(Kumpulan Puisi, 1993),
Menggebrak Dunia Mengarang
(Bacaan Umum, 1992),
Dari Negeri Poci
(Antologi Puisi, 1993),  Mengembalikan Kepercayaan
Rakyat (Esai, 1992),
Api Rindu
(Kumpulan Cerpen, 1987).
Tulisan Beliau dalam facebook PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR
PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR

PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR Dalam seminar di Bali, saya ditanya "Apa yang dapat kita lakukan untuk kampung kelahiran? Saya lahir di sini tapi tidak tahu apa-apa." Saya jawab, tolong tanyakan sekali lagi pada diri anda sendiri, lalu jawablah sendiri dengan sebaik-baiknya.

13 April jam 5:16 · · · Promosikan
  • Sabarudin Achmad menyukai ini.
    • PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR
      Dengan ikut mempromosikan kota kelahiran itu saja sudah merupakan suatu tindakan riil dalam ikut membesarkan nama kota kelahiran kita, syukur kalau kita bisa berbuat nyata dalam perkembangan tempat kelahiran kita, tapi mohon diketahui Bpk. ...Eka kota kelahiran Bapak Sungguh sekarang sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan sewaktu dulu ngimbang yang tandus, sejak kepemimpinan Bupati Masfuk Lamongan Selatan telah dikembangkan pembangunan dan sumber daya asli daerah, sekarang pendidikan mulai dari TK sampai SLTA/ SMK Negeri telah ada didaerah kita kemudian Rumah Sakit Daerah telah berdiri serta Pabrik pengolahan Jagung Serbitol serta perkembangan sektor lain yang masih dalam rangka penanganan, Dengan mempromosikan Kec. Ngimbang kekancah Nasional itu suatu sumbangan yang berharga buat kita semua. Lihat Selengkapnya
      13 April jam 8:01 ·
    • PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR Betul. Saya pernah naik taksi dari Bandara Juanda ke Ngimbang, balik ke Siwalan Kerto di Surabaya. Jalanan mulus. Tempat kelahiran saya sudah menjadi kursus bahasa Inggris. Pohon sawonya masih ada. SD tempat Ibu mengajar masih kokoh. Saya titip beberapa pohon jati ditanam di sana. Semoga Ngimbang subur makmur.
      20 April jam 8:43 ·
    • PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR Ketika Ibu dan ayah saya datang pertama kali ke Ngimbang, Januari 1955, banyak orang miskin di hutan jati. Kalau ada orang melintas dengan sepeda, dimintai uang receh atau rokok. Limapuluh tahun berikutnya, saya ajak ayah saya berputar-putar hutan itu dengan mobil. Tidak ada yang minta rokok atau uang kecil. Hutan hijau, tidak ada pencari rumput maupun kayu. Mungkin semua sudah bekerja ke luar negeri.
      27 April jam 6:17 ·