Rabu, 29 September 2010

Ngimbang Masuk dalam Sejarah Nasional dalam Perkembangan Bumi Pertiwi

Wednesday, 11 November 2009
Makam Nyi Putri Andongsari

Konon di Lamongan terdapat makam ibunda dari Patih yang tersohor dari Kerajaan Majapahit Patih Gajah Mada. Makam tersebut sering disebut makam Mbah Ratu. Makam Mbah Ratu tersebut dapat di akses melalui rute jalan propinsi Babat Jombang.
Adalah di desa Cancing suatu desa yang berada di tengah hutan jati di wilayah Kecamatan Ngimbang, disana terdapat suatu bukit yang cukup tinggi sekitar 100 meter yang berada di sebelah selatan jalur jalan desa Girip Cancing. Bukit yang cukup sejuk karena dinaungi oleh beberapa pohon jati dan jenis fiscus yang batangnya besar dan daun-daunnya sangat rindang. Tepat diatas bukit terdapat bangunan yang mirip padepokan yang disalah satu bangunan tersebut terdapat Makam Dewi Andong Sari yang merupakan ibunda dari mahapatih Gajah Mada.

Bangunannya sangat terawat dan bersih yang setiap hari dikelola dan dirawat oleh Mbah Sulaiman seorang juru kunci dari Makam tersebut. Inilah bukti fisik akan keberadaan asal usul Gajah Mada. Menurut Mbah Sulaiman keberadaan makam tersebut adalah sebuah bukit yang dulunya merupakan petilasan dari Dewi Andong Sari yang diusir dari Majapahit karena irihati dari permaisuri Dara Petak dan dara Jingga karena dikhawatirkan memiliki seorang putra. Dibukit inilah tempat Dewi Andongsari menjalani hari-harinya sampai akhirnya melahirkan, namun sayang meninggal seketika, sehingga Joko Modo sewaktu kecil tidak mengenal ibunya. Dewi Andongsari dimakamkan di situ dan sampai sekarang masih dijaga dan dirawat dengan baik.
CERITA RAKYAT NGIMBANG DAN MODO SEKITARNYA TENTANG ASAL USUL GAJAH MADA
Diawal berdirinya Majapahit, yaitu pada akhir abad XIII M, didesa Cancing (sekarang masuk kecamatan Ngimbang) kedatangan sekelompok prajurit Majapahit yang sedang mengiringkan garwo selir Raden Wijaya yang sedang mengandung selir raja tersebut bernama Dewi Andong sari.
Sekelompok prajurit tersebut mendapat tugas rahasia untuk menyingkirkan (mungkin membunuh) Dewi Andong Sari, tapi karena suatu hal Dewi Andong Sari tidak dibunuh melainkan hanya disembunyikan disuatu desa yang terletak di dalam hutan jauh daripusat pemerintahan majapahit 

Makam Sendang duwur
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.
Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, terdapat di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran. Walaupun komplek makam terletak di dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.
Boyong Masjid dalam Semalam
Situs makam Raden Noer Rachmat alias Sunan Sendang Duwur makin ramai pengunjung. Selain berziarah, mereka ingin melihat peninggalan bersejarah salah satu sunan berpengaruh dalam syiar agama Islam di Jawa itu.
Sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dipisahkan dari sejarah Sunan Sendang Duwur. Bukti peninggalan, makam dan masjid kuno, memberi jawaban bagaimana kiprah sunan yang makamnya terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, itu.
Data dari berbagai sumber menyebutkan, masjid kuno itu menyimpan sejarah yang berbeda dengan pembangunan masjid lainnya. Sebab, tempat ibadah umat Islam ini tidak dibangun secara bertahap oleh Sunan Sendang Duwur, melainkan melalui suatu kemukjizatan.
Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.
Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
Ajaran Relevan
Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur terus melakukan syiar agama Islam. Salah satu ajaran yang masih relevan pada zaman sekarang adalah : "mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu" (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu. Ajaran sunan ini menghimbau pada seseorang agar berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.
Hubungan Sunan Drajad dengan Sunan Sendang Duwur sangat erat dalam siar agama Islam, dan hubungan itu terus mengalir sampai kini. Terlihat, tidak jarang para peziarah ke makam Sunan Drajad di Desa Drajad, Kec. Paciran untuk singgah ke Sunan Sendang Duwur.
Masjid itu kini sudah berusia 477 tahun (didirikan R. Thoyib di Mantingan pada 1531). Karena usianya yang tua, beberapa konstruksi kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi makam, di sekitar masjid. Maski masjid kuno itu sempat dipugar, arsitektur masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada zamannya.
Bangunan yang menunjukkan Hinduistis masih tampak di masjid dan makam. Meski halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman sendiri-sendiri.
Dari arah jalan, yang tampak lebih dulu adalah kompleks pecandian. Sedangkan gapura halaman berbentuk mirip Candi Bentar di Bali. Bentuk candi seperti ini telah dikenal sejak zaman Majapahit, seperti Gapura Jati Pasar dan Waringin Lawang. (kadam mustoko).

"Walisongo" berarti sembilan orang wali" Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad (Drajat-lamongan), Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Wali yang ada di daerah Lamongan :
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel.Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar atau beri pakaian pada yang telanjang".
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak anak yatim piatu dan fakir miskin.


Makam Sendang Dhuwur
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.
Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, terdapat di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran. Walaupun komplek makam terletak di dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.
Boyong Masjid dalam Semalam
Situs makam Raden Noer Rachmat alias Sunan Sendang Duwur makin ramai pengunjung. Selain berziarah, mereka ingin melihat peninggalan bersejarah salah satu sunan berpengaruh dalam syiar agama Islam di Jawa itu.
Sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dipisahkan dari sejarah Sunan Sendang Duwur. Bukti peninggalan, makam dan masjid kuno, memberi jawaban bagaimana kiprah sunan yang makamnya terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, itu.
Data dari berbagai sumber menyebutkan, masjid kuno itu menyimpan sejarah yang berbeda dengan pembangunan masjid lainnya. Sebab, tempat ibadah umat Islam ini tidak dibangun secara bertahap oleh Sunan Sendang Duwur, melainkan melalui suatu kemukjizatan.
Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.
Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
  Sejarah Sunan Drajat
 

 Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyer - Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.
Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me
Panji Laras Dan Lamongan

Sebuah tradisi yang diduga berhubugan dengan sejarah leluhur Lamongan, Panji Laras Liris, masih di ugemi sebagian warga Soto. Yakni, calon pengantin perempuan harus meminang (melamar) calon pengantin laki-laki.
Tradisi ini masih berhubungan dengan sejarah salah satu leluhur Kab. Lamongan yang bernama Mbah Sabilan.Dalam riwayat panji laras liris di ungkapakan,pada sekitar tahun 1640-1665 Kab.Lamongan dipimpin Bupati ketiga.Yakni, Raden Panji Puspa kusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati. Bupati itu mempunyai dua putra yaitu panji laras dan panji liris,sehingga mengakibatkan dua putri dari Adipati Wirasaba(wilayahnya sekitar kertosono nganjuk) yakni Dewi Andanwangi dan Dewi Andansari jatuh hati.
Karena Adipati Wirasaba didesak oleh ke dua putrinya akhirnya beliau menuruti keinginan putrinya untuk melamar panji laras dan panji liris di Lamongan,yang pada saat itu wirasaba belum memeluk agama islam, sedangkan di Lamongan islam sudah sangat melekat.
Untuk menyikapi hal itu panji laras dan liris meminta hadiah berupa dua genuk dan dua tikar yang terbuat dari batu, sebab genuk mangandung isyarat tempat untuk mengambil air wudhu sedangkan tikar untuk sholat yang mempunyai tujuan agar Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi mau masuk islam.
Kemudian Adipati wirasaba memenuhi permintaan itu,dan ke dua putrinya membawa langsung benda-benda tersebut dengan naik perahu yang di kawal oleh prajurit.Kedatangan ke dua putri tersebut di sambut langsung oleh panji laras liris di pinggir kali lamongan.
Ketika akan turun dari perahu kain panjang Dewi Andansari dan Dewi Andawangi terbuka dan kelihatan betisnya.Melihat betis ke dua putri tersebut panji laras maupun panji liris tercengang ketakutan karena melihat betis ke dua putri itu berbulu lebat.
Hal itu merupakan suatu penghinaan bagi prajurit Wirasaba,kemudian mereka mengejar panji laras dan panji liris demikian pula prajurit dari lamongan juga harus melindungi kedua pemuda tersebut yang akhirnya terjadi perang Babad.Dalam perang tersebut panji laras dan panji liris tewas,termasuk Pati Mbah Sabilan.
Jenazah mbah Sabilan dimakamkan di kelurahan Tumenggungan, lamongan , sedangkan jenazah panji laras dan panji Liris tidak ditemukan yang saat ini nama panji Laras dan panji Liris dan Dewi Andansari serta Dewi Andanwangi menjadi nama jalan di kota lamongan.Jalan tersebut di beri nama jalan Laras-Liris dan jalan Andanwangi serta jalan Andansari
Mbah Sabilan maupun panji laras dan panji liris dinilai meninggal dunia ketika sedang berjuang untuk syiar Islam.

SOSOK EKA BUDIANTA SASTRAWAN KELAS DUNIA PAK DOKTOR INI ORANG NGIMBANG


Sastrawan
Eka Budianta



Lahir dari pasangan guru, Daoeni Andajani, sang ibu mulai pernikahannya dengan Astroadi Martaredja sang ayah, pada 1 Februari 1956. Eka memang pandai membuat cerita sendiri. Kepada anak perempuannya, Theresia Citraningtyas Budianta, Eka sering bercerita bahwa dia anak pohon sawo, sebab di bawah pohon itu ia lahir dan ditemukan. Tak berlebihan kalau Citra kemudian menganggap Eka sebagai titisan bumi, sebab manusia mana yang bisa secara pribadi mengenal semua pohon yang dijumpainya.

Pada bagian buku Pagi Tanpa Batas, Eka ingin menyampaikan pesan bahwa yang paling penting saat ini adalah pagi, pagi dan pagi. Pagi tanpa batas, hidup yang senantiasa segar, bumi yang senantiasa sejuk dengan matahari yang selalu siap memancar. Sungguh luar biasa, sebagaimana goresan dari teman-teman Eka di dunia sastra di antaranya Budi Darma, Putu Wijaya, Ikranegara, Ernst Ulrich Kratz, dan Danarto yang telah membuat pagi dalam hidupnya menjadi bermakna abadi. ‘

Pada Buku Empat dan lima bagi Eka, dengan caranya sendiri, ia menyebutkan lima macam lima puluh perdana yang berpengaruh dan ikut menentukan hidupnya. Yaitu 50 lembaga yang paling membantu hidupnya, 50 nama yang telah memperindah hidup, 50 orang yang ikut membentuk hidup, 50 puluh pohon terdekat dan 50 kota tercinta. Melalui visinya, Eka seakan mengingatkan pada dinding kaca bening di ruang tamu. Kadangkala kaca itu bisa menjadi cermin tempat kita bisa menemukan wajah kita di dalamnya, termasuk suksesnya meraih gelar Doktor Kesusastraan di luar negeri.

Melani Budianta, sang istri, merupakan sosok di balik senyum dan semangat hidup Eka. Menurut Eka, isterinya sudah terlalu banyak memberi. Ia sudah memberi hadiah bermacam-macam.

Dalam buku terakhirnya, Eka menawarkan sebuah formula agar hidup ini bisa bermakna, yaitu Chito : Catatan, Hobi, Ide, Tabungan dan Organisasi. Formula Chito adalah hikmah dari kehidupan senang dan sedih, gagal dan sukses yang dialami Eka selama 50 tahun di bumi.

Eka mengingatkan bahwa zaman yang kita masuki penuh dengan berbagai informasi dan kepentingan. Untuk melaluinya dengan nyaman, kuncinya terletak pada keperdulian kita. Dan untuk peduli itu kita harus kuat. Kita memerlukan pribadi yang tangguh dan merdeka. Siap mekar di bumi..
Nama :
Christophorus Apolinaris
Eka Budianta

Lahir :
1 Februari 1956

Pendidikan :
SMA jurusan Budaya, Malang (1974),
Jurusan Sejarah, Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia (1975-1979, tidak tamat),
Pendidikan Jurnalistik Los Angeles Trade-Technical College, Amerika Serikat (1980-1981, tidak tamat) 

Karier :
Wartawan Tempo
(1980-1983),
Dosen Bahasa di Cornell University Ithaca, New York, Amerika Serikat,
Koresponden Koran Jepang Yomiun Shimbun
(1984-1986),
Asisten pada kantor Penerangan PBB Jakarta (1987),
Penyiar BBC London
(1988-1991)

Penghargaan :
Hadiah Sastra DKJ (1984),
Memperoleh Ashoka Fellowship (1987),
International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1987)

Karya :
Bang Bang Tut
(Kumpulan Puisi, 1976),
 Ada (Kumpulan Puisi, 1976),
Bel
(Kumpulan Puisi, 1977),
Rel (Kumpulan Puisi, 1977),
Sabda
Bersahut Sabda (Antologi puisi bersama Azmi Yusoff, 1978),
Cerita di Kebun Kopi
(Kumpulan Puisi, 1981),
Sejuta Milyar Satu
(Kumpulan Puisi)
Lautan Cinta
(Kumpulan Puisi, 1988),
Rumahku Dunia
(Kumpulan Puisi, 1993),
Menggebrak Dunia Mengarang
(Bacaan Umum, 1992),
Dari Negeri Poci
(Antologi Puisi, 1993),  Mengembalikan Kepercayaan
Rakyat (Esai, 1992),
Api Rindu
(Kumpulan Cerpen, 1987).
Tulisan Beliau dalam facebook PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR
PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR

PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR Dalam seminar di Bali, saya ditanya "Apa yang dapat kita lakukan untuk kampung kelahiran? Saya lahir di sini tapi tidak tahu apa-apa." Saya jawab, tolong tanyakan sekali lagi pada diri anda sendiri, lalu jawablah sendiri dengan sebaik-baiknya.

13 April jam 5:16 · · · Promosikan
  • Sabarudin Achmad menyukai ini.
    • PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR
      Dengan ikut mempromosikan kota kelahiran itu saja sudah merupakan suatu tindakan riil dalam ikut membesarkan nama kota kelahiran kita, syukur kalau kita bisa berbuat nyata dalam perkembangan tempat kelahiran kita, tapi mohon diketahui Bpk. ...Eka kota kelahiran Bapak Sungguh sekarang sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan sewaktu dulu ngimbang yang tandus, sejak kepemimpinan Bupati Masfuk Lamongan Selatan telah dikembangkan pembangunan dan sumber daya asli daerah, sekarang pendidikan mulai dari TK sampai SLTA/ SMK Negeri telah ada didaerah kita kemudian Rumah Sakit Daerah telah berdiri serta Pabrik pengolahan Jagung Serbitol serta perkembangan sektor lain yang masih dalam rangka penanganan, Dengan mempromosikan Kec. Ngimbang kekancah Nasional itu suatu sumbangan yang berharga buat kita semua. Lihat Selengkapnya
      13 April jam 8:01 ·
    • PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR Betul. Saya pernah naik taksi dari Bandara Juanda ke Ngimbang, balik ke Siwalan Kerto di Surabaya. Jalanan mulus. Tempat kelahiran saya sudah menjadi kursus bahasa Inggris. Pohon sawonya masih ada. SD tempat Ibu mengajar masih kokoh. Saya titip beberapa pohon jati ditanam di sana. Semoga Ngimbang subur makmur.
      20 April jam 8:43 ·
    • PERKUMPULAN WONG NGIMBANG LAMONGAN JAWA TIMUR Ketika Ibu dan ayah saya datang pertama kali ke Ngimbang, Januari 1955, banyak orang miskin di hutan jati. Kalau ada orang melintas dengan sepeda, dimintai uang receh atau rokok. Limapuluh tahun berikutnya, saya ajak ayah saya berputar-putar hutan itu dengan mobil. Tidak ada yang minta rokok atau uang kecil. Hutan hijau, tidak ada pencari rumput maupun kayu. Mungkin semua sudah bekerja ke luar negeri.
      27 April jam 6:17 ·

SOSOK MANDIRI AREK NGIMBANG TAK MAU KALAH DENGAN KEADAAN

Dymas, dari ayam bakar sampai ojek motor

Minggu, 25 Juli 2010 | 09:35 wib ET
(dok. kabarbisnis.com)
SEJAK MASIH menjadi mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang, anak muda bernama lengkap Dymas Tunggul Panuju ini sudah kelihatan punya talenta bisnis.

Pemenang I Wirausaha Muda Mandiri 2009 ini cerdas dan pandai melihat peluang usaha. Misalnya kegiatan mahasiswa di kampus yang punya program kerja, dia kalkulasi biaya makan mahasiswa dalam setiap kegiatan itu. Dari situ ia melihat ada kesempatan untuk menangani konsumsi makan mahasiswa.

“Hampir setiap bulan di kampus ada kegiatan. Dalam kegiatan mahasiswa itu butuh makan dan minum. Jadi setiap ada kegiatan, teman-teman mesti beli makanan dan minuman dari luar kampus. Saya pikir, kenapa nggak kita kelola sendiri saja konsumsi mahasiswa itu,” cerita dia yang membuat dirinya terinspirasi ingin berbisnis kala itu.

Berawal dari situlah Dymas memberanikan diri untuk buka usaha katering. Jenis usaha makanan yang ia pilih ayam bakar. Kebetulan saat itu di lingkungan kampus Unibraw masih jarang. “Ada rumah makan ayam bakar, tapi tempatnya di luar jauh dari kampus. Dan harganya untuk ukuran kantong mahasiswa masih terbilang mahal,” ujarnya.

Dymas yang saat itu kuliahnya baru memasuki semester tiga, mengawali usaha kateringnya itu dengan bermodalkan sendiri. Dia mutar otak, cari akal untuk bisa mendapatkan modal.

“Saya mikir, pinjam ke bank nggak bakal di kasih. Apa yang dibuat jaminan? Uang yang dikirim orang tua saya yang hanya pas-pasan untuk bayar kos-kosan dan makan, nggak mungkin cukup pakai modal,” kenang Dymas saat akan memulai usaha ayam bakarnya waktu itu.

Dymas yang malu-malu mau pinjam saudaranya itu, punya pikiran untuk mengajak sharing teman satu kosnya. Ide untuk membuka usaha ayam bakar itu ia sampaikan ke teman-teman satu kosnya. Tak disangka ide Dymas itu disambut baik oleh teman-temannya.

“Meski saya cuma butuh modal awal Rp 4,5 juta, tapi namanya mahasiswa, uang untuk kebutuhan kuliah saja diberi orang tua, ya uang segitu itu sudah banyak jumlahnya,” ujarnya.

Teman-temannya sendiri meskipun mendukung usaha Dymas, tapi untuk kebutuhan modal awal ini sifatnya memberi pinjaman. Bukan sharing modal sebagai pemilik usaha. “Ya, saya memaklumi jika teman-teman itu tak ada niatan untuk sharing kepemilikan. Mereka hanya men-support saya supaya berhasil mewujudkan impian saya buka usaha ayam bakar,” cetusnya.

Sejak dimulai usaha ayam bakar pada tahun 2006 itu, Dymas selalu kebanjiran order dari unit-unit kegiatan mahasiswa di kampus Unibraw. Maklum, harga ayam bakar olahan Dymas ini mematok harga per porsinya hanya Rp 7.500, sedangkan untuk ayam gorengnya per porsi Rp 6.500. “Untuk jenis makanan ayam bakar dengan harga segitu itu termasuk murah. Karena harga ayam bakar di rumah makan di luar kampus harganya jauh lebih mahal, ya paling murah Rp 10.000,” tutur Dymas.

Karena order setiap harinya tambah banyak, Dymas mulai berpikir nama usaha ayam bakarnya. Dari usulan nama yang diajukan temannya, tak ada yang cocok. Lalu dia yang berasal dari daerah pelosok Desa Ngimbang, Kabupaten Lamongan, dijadikan nama usahanya. “Saya kan dari anak desa. Jadi saya kepikir ingin mengangkat nama desa saya, yaitu Ngimbang. Orang tua saya dan orang di desa saya pun senang mendengar nama desa saya dibuat nama usaha. Ayam Bakar Ngimbang,” selorohnya.

Dulu, di dalam lingkungan kampus Unibraw ada satu outlet. Karena banyaknya permintaan, Dymas terus melebarkan sayap usahanya menjadi empat outlet di luar kampus. Satu di antaranya dibuka di pusat perbelanjaan kota Malang. Total sekarang ada lima outlet.

Omzet penjualan yang diraihnya pada 2007 sebesar Rp 60 juta, dengan keuntungan bersih sekitar Rp 27 juta. Pada 2008 dengan menambah empat outlet, omzetnya meningkat menjadi Rp 128 juta, dan keuntungan bersihnya Rp 75 juta. Dan pada 2009 lalu, omzet penjualannya pun terus meroket mencapai Rp 234 juta, dengan keuntungan bersih Rp 166 juta.

Tak berhenti di situ saja, Dymas yang cerdas dan pandai melihat peluang bisnis ini tidak malu-malu untuk buka usaha ojek motor. Ada beberapa sepeda motor yang jadi tukang ojeknya adalah mahasiswa. Dan satu lagi, usaha yang dirambah Dymas adalah jajan goreng ote-ote. “Semua usaha saya yang baru ini kelihatan sepele. Tapi menurut saya, income-nya cukup potensial,” tuturnya.

Lelaki lulusan Teknologi Hasil Pertanian Unibraw, yang lahir di Desa Ngimbang, Kab. Lamongan, ini terus mempertahankan citarasa ayam bakar Ngimbang-nya. Mengingat taste ayam bakar yang diolahnya sendiri itu mengundang banyak orang yang ingin menjadi mitranya.

Dia mengaku usaha Ayam Bakar Ngimbang yang dikelolanya banyak diminati investor. Mereka mengusulkan agar outlet Ayam Bakar Ngimbang dijadikan usaha franchise. Dan mereka tertarik untuk membeli hak paten nama franchise-nya.

“Ketika saya terpilih menjadi pemenang I Wirausaha Muda Mandiri (WM)2009 dari Bank Mandiri, dan saya mengikuti roadshow pameran di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya, banyak sekali yang ingin franchise. Tapi saya bilang belum berpikir ke arah itu. Sementara ini bisa kerjasama yang bersifat kemitraan saja,” cetus Dymas.

Inovasi, kerja keras dan tekun yang menjadi filosofi hidup Dymas, kini telah menorehkan sejarah dalam hidupnya. Bermula dari ide bisnisnya untuk melayani konsumsi kegiatan mahasiswa, lalu usaha Ayam Bakar Ngimbang-nya yang banyak diminati itu mengangkat reputasinya, sampai berinovasi buka usaha ojek motor, semua itu menjadi catatan hidup Dymas dalam berprestasi.

Tak ayal jika seorang Dymas, yang kala itu masih mahasiswa itu, mampu membuat dirinya menjadi wirausaha mandiri. Prestasi yang pernah diraihnya sebagai Runner-upYoung Entrepreneurship Award 2008 dari Bisnis Indonesia, Juara I Lomba Business Plan Kementerian Pemuda dan Olahraga 2008, dan terakhir menjadi pemenang I Wirausaha Muda Mandiri 2009 dari Bank Mandiri.

Selasa, 28 September 2010

HAL SMP NEGERI NGIMBANG LAMONGAN

Berdiri tahun 1982 sebagai kepala sekolah pertama adalah
Bapak Drs. Imam Idayat. pertama kali berdiri memiliki 13 rombongan belajar Angkatan Pertama dimotori oleh Suprat, Kusmaryanto, Didik dll yang penulis sendiri kurang hafal karena sudah puluhan tahun, disini penulis merupakan anak ke2 dari angkatan berdirinya SMP Negeri Ngimbang, hal terberat sebagai anak pembubak adalah karena kita belum memiliki gedung sekolah ini yang menyebabkan kita cara belajarnya selalu berpindah-pindah seperti pola hidupnya suku pedalaman saja dimana ada lahan disitu bercocok tanam, demikian juga dengan kami ini sewaktu murid pertama masih 3 kelas kami menempati di bekas bangunan SekolahTeknik yang sekarang dibuat sebagai kantor Dikbud dan PLKB kemudian bertambah 3 kelas lagi yaitu angkatan penulis sehingga harus dimasukkan bergantian dan membagi ruangan seefisien mungkin akan tetapi karena kemajuan pembelajaran kami sehingga menjadikan pihak pengelola smp swasta ditempat penulis kebakaran jenggot takut sekolahnya tidak mendapatkan murid pihak pengelola smp swasta termasuk pemilik gedung yang disewakan buat kami meneduh sementara, untuk itulah maka kontrak sewa kami tidak diperpanjang sehingga kami harus mencari lahan baru lagi buat berteduh, akhirnya dapatlah pandangan yaitu SD inpres dekat lapangan Slegi belum juga sempat lama kami mengenyam pendidikan di kontrakan baru ini rupanya diantara pengelola SMP swasta ini ada konspirasi dengan guru2 SD Inpres yang tanpa memberitahukan kepada kami tahu2 gedungnya dibongkar yang katanya mau direhabilitasi dan benar memang dilakukan pembongkaran sehingga kami keleleran dilapangan tidak mempunyai tempat berteduh lagi sehingga memusingkan para guru2 muda kami untuk sesegera mungkin menemukan lokasi untuk tempat kami yang cocok untuk belajar dan tidak dipindah2 lagi sehingga kami bisa belajar dengan tenang dan sampai dengan memiliki gedung sekolah sendiri.  Akhirnya dipilihlah lokasi yang agak jauh dengan kota yaitu di Desa Druju Gurit, cukup lama kami berteduh di SDN Druju Gurit ini sebagai penumpang yang baik kita harus menjaga tempat yang kita tumpangi itu supaya tampak bersih dan enak untuk ditempati untuk itulah maka kami sebagai siswa setiap hari minggu secara bergiliran diberikan tugas oleh guru untuk membersihkan sekolah yang kita tumpangi ini dengan melakukan pembersihan penanaman bunga dan pengepelan sampai dengan sekolah Baru kami berdiri sehingga kami harus meninggalkan SD Druju Gurit sebagai Kenangan terindah numpang disekolah orang dengan ucapan Terima Kasih kepada Bapak dan Ibu Guru SDN Druju Gurit berkat kebaikan hati anda2 semua sehingga kami siswa siswi SMP Negeri Ngimbang ini bisa belajar dengan tenang dan tidak terganggu lagi.  Satu lagi hampir terlupakan peristiwa yang sangat melekat dihati kami karena sekolah kami yang jauh dengan ibu kota desa maka transportasi utama kami adalah sepda kayuh nah ada yang malas mengayuh sepeda bisa naik mobil tapi tidak ada angkutan umum kedesa itu kalaupun ada adalah truk muatan barang yaitu yang lagi mengangkut batu, kapur ataupun kayu dsb. nah pada saat naik truk ini kakak kelas kami yang kami lupa namanya pada saat turunnya terpeleset jatuh dan terlindas truk akhirnya meninggal dunia, Kami semua mengantarkan jenasah dengan duka mendalam perjuangan yang sangat berat untuk menuntut ilmu.