Selasa, 19 Oktober 2010

MENGANGKAT NAMA SEKOLAH LEWAT KARYA ILMIAH

Telur Asin Sangrai yang Awet dan Masir

  • Kiprah Mahasiswa Fakultas Peternakan Undip
SIAPA yang tidak kenal telur asin? Benda bulat berwarna hijau itu telah lama menjadi kegemaran masyarakat Indonesia. Bukan hanya itu, telur bebek yang diasinkan itu juga menjadi primadona ekonomi masyarakat di Kabupaten Brebes. Menurut data Dinas Penanaman Modal Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Brebes, kapasitas produksi telur asin di Brebes mencapai 45,1 juta butir per tahun.
Telur asin (salty egg) ternyata tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga dikenal sebagai makanan tradisional di berbagai negara seperti China, Thailand, dan Jepang. Namun kualitas produksi dan inovasi perlu terus dikembangkan, agar lebih memenuhi keinginan pasar.
Pada kenyataannya, telur asin memang sering menjadi bahan penelitian. Di antaranya siswa SMP Negeri 1 Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, yang pada tahun 2004 berhasil membuat telur asin aneka rasa. Telur asin yang memiliki rasa jeruk, jahe, atau pedas (cabe) itu menjadi salah satu finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) 2004.
Selain itu, terus dilakukan pembaruan teknik pengolahan agar lebih memenuhi standar kualitas produk, termasuk soal keawetan dan daya tahannya.
Hal itulah yang dilakukan tiga mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang, yaitu Eli Subandiyah, Novita Rahmawati, dan Nichia Alies.
Menurut Eli Subandiyah, selama ini yang tersedia di pasaran adalah telur asin yang dimasak dengan cara kukus, rebus, atau oven. ''Kami mencoba melakukan diversifikasi produk dengan model sangrai,'' ujarnya.
Eli menjelaskan, pengasinan merupakan proses penetrasi garam ke dalam telur dengan cara difusi. Proses difusi terjadi setelah garam berubah menjadi ion Na+ dan Cl-. Garam berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa (flavour), sementara air sebagai media difusi (carrier).
Keamisan Rendah
''Jumlah penetrasi air ke dalam telur telah mencapai ideal pada masa pengasinan. Namun pada saat telur direbus terjadi penambahan kadar air. Kelebihan kadar air inilah yang mengurangi keawetan telur asin,'' ujarnya. Untuk itulah, ketiga mahasiswa ini membuat diversifikasi produk telur asin yang kadar airnya tidak terlalu tinggi. ''Kondisi itu bisa tercapai dengan metode oven atau sangrai,'' jelasnya.
Berdasarkan uji organoleptik terlihat telur asin sangrai memiliki tingkat keamisan yang rendah (36,62 persen), namun lebih awet tiga minggu dibandingkan dengan telur asin rebus.
Indikator lain seperti tingkat kemasiran, tekstur kuning, tekstur putih telur, tekstur cangkang, dan tekstur warna cangkang telur asin sangrai juga lebih baik.
Mengapa bisa demikian? Sebab kadar air dalam telur sangrai tidak berlebihan. Kadar air telur asin rebus sekitar 42,77 persen, sedangkan sangrai hanya 37,09 persen.
Yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat dapat menikmati telur asin sangrai produksi Fakultas Peternakan Undip ini? Menurut Eli, telur asin itu sudah memiliki merek dagang Karoten, dan mulai dipasarkan di wilayah Semarang dan sekitarnya. ''Kapasitas produksinya masih kecil, sekitar 300 butir per minggu,'' ujar mahasiswi asal Kebumen ini.
Proses pembuatan telur asin sangrai tak jauh berbeda dengan model rebus. Bedanya hanya pada pemasakan. Telur asin rebus biasanya dimasak dengan cara direbus selama dua jam. Sedangkan telur asin sangrai mula-mula direbus selama 30 menit, kemudian disangrai selama satu jam.
Penelitian tentang telur asin sangrai ini telah diikutkan dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa (Pimnas) 2006 di Universitas Muhammadiyah Malang. Meski tidak menggondol piala, kata anggota tim Novita Rahmawati, tak terlampau kecewa.
Mereka merasa berhasil meningkatkan kualitas telur asin, yakni lebih awet.
Menurutnya, ini bisa membantu produsen dalam memperluas pangsa pasar. ''Termasuk bisa menembus pasar supermarket yang menuntut standar kualitas produk lebih tinggi daripada pasar tradisional,'' ujarnya. (Panji Sa-trio-32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar